SUARATERKINI, – Indonesia kaya akan sumber daya alam (SDA) salahsatunya yang terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah menyimpan berjuta potensi bahan tambang dari batubara, emas, tembaga, hingga komoditas mineral bukan logam jenis tertentu. Namun belum semua potensi tambang yang ada di kawasan tersebut bisa diolah, sebab banyak tumpang tindih izin yang diberikan.
Berdasarkan data, luas area yang mengalami tumpang tindih di Kalimantan Tengah mencapai 6,2 juta hektare atau 40,35% dari total luas wilayah provinsi tersebut. Untuk diketahui, Kalimantan Tengah memiliki luas 15,357 juta hektare. Angka tumpang tindih itu berdasarkan peta indikatif tumpang tindih perizinan di Kalimantan Tengah. Tumpang tindih perizinan terjadi antara satu sektor sumber daya alam dengan lainnya di Kalimantan Tengah.
Tumpang tindih dan overlapping Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP)/Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi, misalnya, overlapping antara WIUP/IUP yang dikeluarkan Pemerintah Pusat/Menteri dengan Gubernur untuk komoditas mineral bukan logam jenis tertentu, khususnya di Kabupaten Sukamara dan *Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat*,*Kapuas, kotawaringin timur, murung raya dan barito timur*. Hal ini berdasarkan data dikutip dari Minerba One Map Indonesia.
“salah satu permasalahan di dunia pertambangan. Pertama di Kalimantan Tengah, mengeluarkan surat keputusan nomor 540/857/IV.1/DESDM tertanggal 11 Oktober 2022 yang kontroversial, yang berisi pengembalian/penolakan permohonan WIUP dan pembatalan WIUP/IUP yang sudah didapat para pengusaha tambang dari Pemerintah Pusat/Kementerian. Begitu dilimpahkan ke provinsi, seharusnya kan Gubernur meneruskan, ini malah membatalkan izinnya. Dengan keputusan Gubernur tersebut ada lebih dari 160 perusahaan yang terkena dampaknya berupa penolakan permohonan dan pembatalan WIUP” ucap seorang sumber, Jumat (23/12).
Dalam Surat Gubernur nomor 540/857/IV.1/DESDM itu mengacu kepada Peraturan Menteri ESDM nomor 7 tahun 2020, sedangkan pada tahun 2021 telah terbit Peraturan Pemerintah nomor 96 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, dimana pada pasal 27 menyebutkan bahwa permohonan WIUP dan keputusan menerima/menolak WIUP menjadi kewenangan Pemerintah Pusat/Menteri*. *Peraturan Pemerintah nomor 96 tersebut juga telah mencabut Peraturan Pemerintah nomor 23 Tahun 2010 dan Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2018 yang menjadi pertimbangan Peraturan Menteri ESDM nomor 7 tahun 2020 yang dijadikan acuan surat Gubernur nomor 540/857/IV.1/DESDM yang kontroversial tersebut*.
Kedua, terjadinya tumpang tindih lahan tambang. Lahan tambang perusahaan lama dengan SK Menteri banyak ditindih oleh perusahaan baru yang tiba-tiba muncul dengan nomor SK Gubernur. Atas dasar itu, perlu adanya persyaratan perizinan yang transparan dan fair di sektor perizinan pertambangan. Selain itu, perlu juga dilakukan penegasan terkait hak atas pemilik lahan sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi pemegang IUP. Apabila permasalahan-permasalahan ini dibiarkan maka akan menghambat investasi yang berakibat tidak terjadi peluang kesempatan kerja dan peluang berusaha di sektor lain yang terkait. Dengan demikian roda perekonomian Kalimantan Tengah akan melambat dan berdampak langsung terhadap perekonomian nasional. (Rep)